Mengapa Literasi Membaca Di Indonesia Masih Sangat Rendah?

Kenapa Literasi di Indonesia Masih Rendah?

Literasi—bukan sekadar soal bisa membaca dan menulis. Tapi juga tentang kemampuan memahami, mengolah, dan menggunakan informasi. Sayangnya, Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar dalam hal ini. Meski kita sudah punya sekolah di hampir semua wilayah, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih termasuk rendah.

Salah satu sekolah yang menyadari pentingnya literasi sebagai fondasi masa depan adalah SMK Nusa Widya Mandiri, yang secara aktif mengembangkan budaya membaca dan menulis di lingkungan sekolah.

SMK NWM

Gambaran Umum: Data yang Kurang Menyenangkan

Kalau kita lihat dari hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke-74 dari 79 negara dalam kemampuan membaca siswa. Itu artinya, anak-anak kita masih kesulitan memahami apa yang mereka baca. Bukan cuma membaca huruf ya, tapi benar-benar mengerti isi bacaan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah—katanya, cuma 1 dari 1.000 orang yang benar-benar punya minat baca tinggi. Bisa dibilang, buku masih jadi "barang asing" bagi banyak orang.

Kenapa Literasi Kita Masih Rendah?

Sebenarnya ada banyak alasan. Beberapa di antaranya cukup kompleks, dan saling berkaitan satu sama lain.

1. Akses Buku Masih Terbatas

Di kota-kota besar, mungkin mudah menemukan toko buku, perpustakaan, atau aplikasi baca online. Tapi beda cerita dengan daerah terpencil. Banyak anak yang bahkan belum pernah punya buku sendiri. Perpustakaan sekolah pun sering kali tidak punya koleksi yang menarik atau up-to-date.

2. Budaya Baca yang Belum Mengakar

Di banyak rumah tangga di Indonesia, membaca belum jadi kebiasaan sehari-hari. Anak-anak lebih sering diajak menonton TV atau main gadget daripada membaca buku cerita. Padahal, kebiasaan membaca itu terbentuk dari lingkungan sejak kecil. Kalau orang tua juga nggak suka baca, ya anak jadi ikut-ikutan.

SMK NWM

Untuk membantu mengubah kebiasaan ini, SMK Nusa Widya Mandiri mengadakan kegiatan seperti pojok baca, literasi digital, dan lomba karya tulis, agar siswa lebih akrab dengan aktivitas membaca dalam suasana yang menyenangkan.

3. Pendidikan yang Fokus ke Hafalan

Sistem pendidikan kita selama ini masih banyak yang menekankan hafalan, bukan pemahaman. Anak-anak belajar supaya bisa jawab soal ujian, bukan supaya paham isi materi. Akibatnya, mereka terbiasa membaca untuk “lulus ujian”, bukan untuk memahami atau berpikir kritis.

Di SMK Nusa Widya Mandiri, para guru mulai berinovasi dengan metode pembelajaran yang mendorong pemahaman dan diskusi terbuka, bukan sekadar menghafal, agar siswa terbiasa berpikir kritis sejak dini.

4. Peran Guru dan Sekolah Masih Terbatas

Banyak guru yang sebenarnya ingin menumbuhkan minat baca, tapi terhambat karena kurikulum yang padat atau kurangnya pelatihan. Ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendukung seperti perpustakaan yang nyaman atau akses internet yang stabil.

5. Pengaruh Gadget dan Media Sosial

Sekarang ini, anak-anak (dan orang dewasa juga) lebih sering scroll media sosial daripada membuka buku. Konten singkat dan cepat seperti video TikTok atau meme Instagram memang lebih menghibur. Tapi, efek jangka panjangnya bisa bikin kita kehilangan kemampuan membaca teks yang panjang dan mendalam.

Apa Dampaknya?

Rendahnya literasi bukan cuma masalah sekolah, tapi bisa berdampak luas. Misalnya:

  • Mudah percaya hoaks. Kalau kemampuan membaca kritis rendah, orang jadi gampang termakan berita palsu.

  • Kesulitan bersaing di dunia kerja. Banyak pekerjaan sekarang butuh kemampuan komunikasi tertulis, membaca data, dan berpikir analitis.

  • Minim partisipasi dalam masyarakat. Literasi yang rendah bikin seseorang kesulitan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Sudah Ada Usaha, Tapi Belum Cukup

Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan Gerakan Literasi Nasional (GLN), termasuk program membaca 15 menit sebelum pelajaran di sekolah. Ada juga komunitas-komunitas yang bikin taman baca, relawan yang bawa buku ke pelosok, dan perpustakaan digital seperti iPusnas.

Tapi tentu saja, usaha ini belum cukup. Apalagi kalau tidak didukung dari rumah, lingkungan sekitar, dan sistem pendidikan yang lebih besar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Masalah literasi ini nggak bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak. Harus ada kerja sama dari semua lapisan:

  • Orang tua: Biasakan membaca di rumah, mulai dari hal sederhana seperti dongeng sebelum tidur atau membaca bersama.

  • Sekolah: Perlu ada metode belajar yang lebih mendorong anak berpikir kritis, bukan cuma menghafal.

  • Pemerintah: Harus terus memperbaiki akses terhadap buku dan internet, khususnya di daerah tertinggal.

  • Media & teknologi: Bisa membantu menyediakan konten yang menarik tapi juga mendidik.

SMK NWM

Penutup: Literasi Adalah Kunci Masa Depan

Meningkatkan literasi bukan sekadar membuat anak bisa membaca buku, tapi membantu mereka memahami dunia. Literasi membuka pintu ke pengetahuan, kepekaan sosial, dan kemampuan berpikir kritis. Tanpa literasi yang kuat, mustahil kita bisa bersaing di dunia global yang serba cepat seperti sekarang.

SMK Nusa Widya Mandiri adalah salah satu contoh sekolah yang menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil dan konsisten, selama ada komitmen bersama.
Indonesia punya potensi besar—anak-anak yang cerdas, guru yang berdedikasi, komunitas yang peduli. Tapi semua itu harus dibarengi dengan kesadaran bersama bahwa literasi adalah fondasi. Dan kita semua punya peran untuk memperkuatnya.


Nama: Andi Setiawan 

Kelas: 11 TKJ

0 Response to "Mengapa Literasi Membaca Di Indonesia Masih Sangat Rendah?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel